• Bukan cuma mengkhayal soal teknologi, tapi dipikirkan juga konsekuensinya.
  • Bagian dari fiksi spekulatif.
  • Hard Sci-fi vs. Soft Sci-fi.



Pernah nggak sih ketika kalian lagi dalam perjalanan menuju tempat kerja, sekolah atau kampus, tiba-tiba terjebak macet. Atau malah karena alasan tertentu, kalian bangun kesiangan dan pasti bakal telat untuk sampai ke tempat tujuan. Lalu di situ kalian berpikir:

“Seandainya mobil gue bisa terbang, ga bakal nih kejebak macet.”

“Coba ada alat teleportasi, enak kayanya bisa bebas bangun siang.”

“Kalo pintu kemana saja beneran ada, pasti ga akan ribet hidup gue.”

Atau ketika kalian putus cinta, terus kalian ngehalu:

“Punya mesin waktu enak kayanya, gue bisa cegah doi ketemu si PHO”

Atau situasi-situasi lain di mana kalian membayangkan punya suatu alat canggih buat mengatasi masalah-masalah yang ada. 

Pertanyaannya, apa kalian memikirkan juga konsekuensi luas dari adanya alat-alat tersebut buat peradaban manusia? Kalau iya, apa kalian juga menuliskan pemikiran-pemikiran tersebut? Dibuatkan sebuah skenario, tokoh-tokoh dan lain sebagainya.

Kalau iya, selamat… kalian adalah penulis science-fiction.

Nah lo… ko bisa??




Bagaimana kalau . . . ?

Sama seperti fantasi, sci-fi juga merupakan genre yang berada di bawah naungan fiksi spekulatif. Selain punya ciri seperti yang sudah dijelaskan dalam bahasan fantasi, fiksi spekulatif hampir selalu didasari dari pertanyaan “What if…?”, seperti:

“Bagaimana jika orang mati bisa dihidupkan kembali?”

“Bagaimana jika mesin waktu berhasil ditemukan?”

“Bagaimana jika kapal yang bisa menyelam ke dalam laut berhasil ditemukan?” (Lho, kapal selam kan sudah ditemukan?)

Nah, yang membuat sci-fi berbeda dari fiksi spekulatif lain adalah penekanannya pada teknologi atau ilmu pengetahuan. Lebih tepatnya, ciri khas dari sci-fi adalah adanya teknologi atau konsep ilmu pengetahuan yang belum ditemukan saat karya tersebut terbit.

Seperti novel 20000 Leagues Under the Sea karya Jules Verne, yang menceritakan sebuah eksplorasi bawah laut menggunakan kapal selam di mana teknologi tersebut belum ada ketika novel itu terbit (Tahun 1871).

Selain dari penekanan pada dua aspek di atas, sci-fi juga mengeksplorasi bagaimana reaksi manusia terhadap teknologi tersebut, seperti:

“Jika semua penyakit telah ditemukan obat nya, bahkan orang mati pun bisa dihidupkan kembali, bagaimana jika nanti akan muncul orang gila yang ketagihan dengan kematian? Hari senin dia akan mencoba terjun dari lantai 50 sebuah gedung, hari selasa dia akan menggorok lehernya sendiri, dan seterusnya hanya demi bisa merasakan semua penyebab kematian.”

Bicara soal science, mungkin kalian akan bertanya…

“Apa nanti pas nulis gue harus bener-bener akurat pemaparan science nya? Harus dipaparkan gimana rumus-rumusnya, hipotesisnya dan lain-lain.”

Enggak juga sih… Tergantung kalian ada di aliran mana.




Kamu ini aliran mana?

Genre sci-fi terbagi dalam 2 aliran besar, yaitu hard dan soft sci-fi. Dimana arti dari hard dan soft inipun diperdebatkan hingga terbagi lagi menjadi dua.


1. Natural Science (IPA) vs. Social Science (IPS)

Definisi ini menyatakan bahwa Hard sci-fi lebih berfokus pada eksplorasi Ilmu Pengetahuan Alam atau Engineering seperti fisika, kimia, astronomi dan lain-lain. 

Sedangkan soft sci-fi berfokus pada eksplorasi Ilmu Pengetahuan Sosial seperti psikologi, sosiologi, antropologi, politik, dan lain-lain.


2. Science sebagai fokus vs. Science sebagai pendukung

Di sini hard sci-fi didefinisikan sebagai cerita yang punya fokus pada aspek science-nya, dimana penulis akan seakurat dan seteliti mungkin melakukan ekstrapolasi dari science tersebut.

Untuk soft sci-fi, ceritanya akan berfokus pada petualangan dari tokoh-tokoh yang ada dalam cerita tersebut, dengan aspek science yang hanya sebagai background/pendukung.

Lalu, definisi mana dong yang bener?

Dua-duanya bener kok, kalian tinggal pilih aja mau percaya yang mana. Kalo saya pribadi lebih milih definisi yang kedua.




Mari kita coba bayangkan . . .

Nah, lumayan pusing ya kalau bahas definisi, mending kita lihat contoh aja deh…

Mari kita pilih topik tertentu, katakanlah time travel ke masa lalu. Kemudian kita lihat bagaimana ceritanya disampaikan.


Hard sci-fi:

Bab-bab awal akan ada penjelasan soal Teori Kuantum, kemudian di bab selanjutnya akan ada penjelasan detail soal teori dari masing-masing kuantum state serta hubungannya, dan bagaimana ekstrapolasi dari semua teori tersebut bisa dipakai untuk membuat mesin yang mampu membawa penggunanya ke masa lalu.


Soft sci-fi:

Akan ada sedikit teori yang dibahas tapi tidak detail, bahkan bisa hanya terdengar seperti omong kosong lalu tiba-tiba mesin waktu sudah siap dipakai. Tinggal duduk, masukan tanggal tujuan, tekan tombol merah dan Poof masuk ke lorong waktu.


Hard banget sci-fi:

Hah?? Gila lo ya? Pergi ke masa lalu nggak mungkin bisa dilakukan.




Rekomendasi

Untuk hard sci-fi, kalian bisa coba baca Uplift Series karya David Brin. Menceritakan tentang umat manusia yang sudah maju sampai bisa melakukan uplift (Menaikan tingkat kepintaran sampai setara dengan manusia) pada spesies lain seperti lumba-lumba dan simpanse.

Uplift Series by David Brin

Untuk soft sci-fi, Arc of a Scythe Karya Neal Shusterman salah satu yang menarik. Novel ini menceritakan umat manusia yang telah berhasil memusnahkan semua penyakit, orang mati bisa dihidupkan kembali, orang yang sudah tua bisa dibuat muda lagi, tapi semua itu menimbulkan masalah overpopulasi. Muncullah Scythe, sebuah organisasi resmi dimana pekerjaan anggotanya adalah membunuh orang-orang secara random sesuai kuota untuk mengendalikan populasi. Menarik ya??

Scythe by Neal Shusterman


Jadi, segitu dulu untuk bahasan sci-fi kali ini. Kita akan dig deeper di post-post selanjutnya.

Stay tuned!